0
Home  ›  Chapter  ›  My Little Wife

Bab 3 : Cincin dan Apartemen

Bab 3 : Cincin dan Apartemen-1


Layla tak bisa menahan senyum senangnya setelah makan malam. Ajakan Rangga untuk pergi mencari cincin terasa begitu membuatnya berdebar. Seolah memang ini jawaban dari doa dan solatnya selama ini. Sepanjang makan malam juga Layla begitu kagum pada pencapaian Rangga juga penampilannya. Usianya memang terpaut jauh, tapi bagi Layla itu bukan masalah besar toh orang tuanya juga begitu. Kedua kakak iparnya juga terpaut usia yang cukup jauh dengan kakaknya.

“Besok yang temenin aku siapa?” tanya Layla yang tampak begitu ceria dan tak sabar menemui hari esok.

“Ibuk, sama Abah juga Insyaallah kalo urusan sama Abangmu udah selesai,” saut Datuk Rafiq yang di angguki istrinya.

Layla mengangguk lalu pergi ke kamarnya. Perasaannya begitu berbunga-bunga tampak sibuk di kamarnya melihat isi lemarinya lalu mematut diri di depan cermin. Tapi disela keceriaannya perlahan Layla teringat jika pernah melihat kabar tentang Rangga yang berpacaran dengan Cika. Keceriaan dan rasa semangatnya perlahan memudar.

Layla mulai berselancar di internet mencari berita soal Cika. Sudah tidak ada lagi yang menyangkut pautkannya dengan Rangga untuk beberapa waktu belakangan ini. Hanya ada sedikit berita soal Cika yang sempat bermain film. Begitu banyak pertanyaan dibenak Layla, apa mungkin ia hanya pelarian, apa mungkin hubungan yang sudah bertahun-tahun itu memang sudah kandas begitu saja?

***

Rangga pergi ke apartemennya setelah pulang dan berganti baju. Pikirannya terus terbayang soal Layla, banyak hal yang ingin ia bicarakan dan ingin terus memandanginya. Ucapan orang tuanya soal Cika juga terdengar semakin masuk akal baginya. Meskipun tak ada yang salah dan tak ada yang berkurang pada value manusia hanya karena sex. Tapi masalah ini beda.

Cika dan dirinya memang seiman, meskipun Cika keturunan Inggris dan Sunda. Mungkin bagi orang luar apa yang dialami Cika bukan masalah besar. Tapi ini Indonesia, hanya berpakaian sexy untuk seni saja sudah menjadi buah bibir apalagi ini. Selama hubungannya dengan Cika juga rasanya ia terus masuk dalam pemberitaan dengan embel-embel yang cukup buruk karena citra diri Cika yang ternoda.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Rangga mulai merasa bosan dengan hubungannya yang sulit mendapat restu hingga harus berpacaran begitu lama. Rasanya tak mungkin juga jika ingin terus begini. Tinggal bersama sesekali, bercinta, berlibur, belanja, makan, bercerita…terdengar menyenangkan. Tapi ia sudah hampir berusia 40 tahun, mau sampai kapan seperti ini? Pikir Rangga yang terus merenung.

“Sayang!” seru Cika menyambut kedatangan kekasihnya itu dengan lingerie satin merahnya yang begitu menggoda memeluk Rangga dan menciumnya dengan lembut. “Gimana makan malamnya?” tanyanya begitu penasaran sementara Rangga hanya tersenyum sembari berjalan ke kamar.

“Cantik gak anaknya?” tanya Cika lagi penuh rasa penasaran sambil mengikuti langkah kekasihnya itu.

Rangga masih tersenyum lalu mengangguk pelan. “Namanya cewek ya cantik,” jawabnya begitu diplomatis dan tampak jelas tak memuaskan Cika sama sekali. “Anaknya baik, kalem, naif, polos, pendek sedadaku doang mungkin,” jelas Rangga yang mulai membuat Cika cukup puas dengan jawabannya.

“K-kamu…suka?” tanya Cika lagi dengan ragu.

Rangga diam memikirkan jawaban atas pertanyaan Cika kali ini. Diam yang cukup lama untuk mempertimbangkan perasaannya. Jawaban diplomatis rasanya sulit untuk kembali terucap kali ini. Apapun jawabannya rasanya akan menyakitkan. Jika dijawab suka Cika akan sedih, jika dijawab tidak Rangga sendiri sudah lelah dengan hubungannya dengan Cika.

Jujur saja Cika sendiri juga takut dan khawatir dengan apapun jawaban Rangga. Jika Rangga bilang tidak, Cika yakin keluarga Rangga lebih suka pada Layla karena ini pilihan mereka. Sementara jika Rangga bilang suka, maka habis sudah hubungannya dan Cika sama sekali tidak siap mengakhiri semuanya.

“Gak usah di jawab Ngga,” ucap Cika menarik pertanyaannya sembari tersenyum dan ikut tiduran disamping Rangga.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Biasanya mereka akan berpelukan, berciuman, bercinta hingga lelah. Tapi malam ini untuk pertama kalinya mereka merasa canggung dan asing. Seolah perasaan itu sudah hilang, seolah cinta yang membara itu sudah kehilangan apinya. Meskipun Cika sudah menduganya, tapi rasanya tetap sakit.

“Menurutmu mungkin gak Ngga kalo aku makan malam sekali lagi sama keluargamu? Aku bisa kok pakek gamis, pakek hijab, biar Mama yakin kalo aku udah jauh lebih baik, udah berubah gak kayak dulu?” tanya Cika yang masih ingin berusaha.

Rangga tersenyum menatap Cika lalu memiringkan tubuhnya untuk merangkul kekasihnya itu, merengkuhnya membawanya masuk kedalam pelukannya. Rangga bingung harus menjawab apa, terlebih besok ia akan membeli cincin untuk Layla dan orang tuanya juga sudah bersiap mempersiapkan pernikahannya.

“Apa kita sudahi saja? Aku gak mau kamu terus menunggu, terus berharap sementara keluargaku jelas gak merestui. Mungkin kita cuma di takdirkan buat bertemu saja bukan menua bersama,” jawab Rangga mencoba memberi jawaban dan kepastian agar Cika bisa memulai hidup dengan orang baru. Mungkin bule atau pria lain yang lebih bisa menerimanya.

“Kamu nyerah ya?” tanya Cika dengan mata yang berkaca-kaca.

Rangga menghela nafas panjang. “Kita bukan di usia awal 20an lagi, mau sampe kapan kayak gini? Mau sampe kapan maksa biar direstui?”

Cika mulai menangis sambil menatap Rangga yang sedang berusaha memperbaiki keadaan dan membawa Cika kembali kerealita.

“Kalo kita paksa, oke mungkin kita bisa nikah. Tapi emang kamu mau kalo keluargaku gak nerima kamu…”

“Tapi kamu berpihak di aku kan Ngga? Kalo keluargamu nyerang aku kamu bakal belain aku kan?” potong Cika yang terdengar begitu putus asa.

“Apa aku harus ngelawan keluargaku terus-terusan? Sayang, udah ga setaun, dua taun lagi loh kita ini berusaha. Keluargaku masih sama, oke kalo keluarga besarku ga setuju aku gak masalah, tapi orang tuaku, pemberitaan dari media, menurutmu gimana?”

“Terus kenapa kamu tetep maksa buat pacaran sama aku kalo tau resikonya dari dulu?”

Rangga hanya diam, ini salahnya. Semua salahnya, kalau saja dari awal ia tak memaksa, kalau saja ia sadar ini akan sulit untuknya juga untuk Cika.

“Kita udah ngerencanain banyak hal Ngga, udah beli vila di Ubud, udah bangun mesjid di Lombok, udah beli apartemen ini bareng, udah banyak rencana kita. Udah bangun panti asuhan juga, udah siapin nama buat anak kita, terus kalo kamu pergi aku gimana? Aku ga siap Ngga, aku takut sendirian…” lirih Cika yang tak dapat menahan linangan airmatanya lagi.

Rangga hanya diam sembari mendekap kekasihnya itu, mencoba menenangkannya. Mencoba mencari celah yang tepat untuk berpisah dengan cara yang lebih baik. Mungkin selama ini ia terlalu memanjakan Cika, terlalu membuatnya bergantung hingga Miss Independent ini jadi terlalu membutuhkannya. Tapi itu tak bisa disebut kesalahan, toh sebagai pasangan memang seharusnya begitu.

Rangga juga tak bisa berpisah sekarang karena tak tega dengan Cika yang menangis. Rangga juga mulai merenungkan sikapnya selama ini yang mungkin sudah keras kepala dan membuat Cika berharap banyak padanya. Memang ia berencana melawan keluarganya demi Cika, tapi pertemuannya dengan Layla dan bagaimana respon keluarganya, betapa bahagia orangtuanya membuatnya berpikir kembali. Apakah ia sudah yakin untuk melawan demi Cika atau lebih baik bersama Layla yang jelas direstui keluarganya?

8
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share