BLANTERORBITv102

Bab 29 – Patah Hati

Sabtu, 20 Juli 2024

Bian berencana untuk mengirimkan lebih banyak bunga untuk Anna setiap harinya. Tapi Ibunya terlanjur pulang dan berencana untuk memajukan peresmian pertunangannya dengan Eve. Bian tak banyak bereaksi, Bian hanya memikirkan cara untuk bisa kembali bersama Anna lagi.

Bian hanya memikirkan Anna dan hubungannya. Bian masih belum bisa menerima kenyataan jika Anna bukan lagi kekasihnya. Bian masih saja menganggap jika Anna hanya sedang marah padanya dan sedang di kurung oleh orang tuanya saja. Bian benar-benar merasa jika Anna tetap miliknya dan tidak akan berubah.

“Anna lagi apa ya sekarang…” lirih Bian sembari memandangi foto Anna yang masih ia simpan.

Bian menyesal jarang memfoto Anna selama mereka bersama. Sekarang Bian benar-benar merindukan Anna, merindukan belahan jiwanya. Merindukan pelukannya, omelannya, dan segala hal soal Anna. Berkali-kali Bian menyemprotkan parfum yang biasa Anna pakai di kamarnya, tapi ia masih merasa kurang.

Apa ini yang dirasakan Anna waktu gak bisa ketemu orang yang dia sayangi? Pikir Bian yang mulai menggunakan hatinya untuk ikut merasakan perasaan orang lain.

Bian mencoba memejamkan matanya, berharap dengan tidur ia bisa menghabiskan waktunya dengan lebih cepat. Tapi sekeras apapun ia mencoba ia masih terbayang-bayang pada Anna dan ini terasa semakin menyiksa karena Bian tau ia bisa menggapai Anna dengan sedikit kenekatan saja. Maka Bian memutuskan untuk jadi nekat dan egois seperti kebiasaannya dulu.

Pagi-pagi sekali Bian pergi ke rumah Anna. Bian tak peduli lagi dengan Melania atau Eve yang mungkin menghalanginya. Ia sudah mencoba mengalihkan perasaannya untuk Eve tapi itu sama sekali tidak bekerja. Ia masih merindukan Anna dan semakin coba Bian tahan semakin ia merasa tersiksa.

Bian menekan bel pintu rumah keluarga Seymour. Tak ada satpam yang menjaga, jadi Bian dengan nekat langsung membuka gerbangnya dan membawa mobilnya masuk. Bian langsung menggetuk pintu rumah namun belum ia ketuk Erwin sudah membuka pintu duluan.

“Bian!” kaget Erwin.

“Aku mau ketemu Anna,” ucap Bian sembari berusaha menerobos masuk.

“Anna gak dirumah!” bentak Erwin dengan tegas berusaha mengusir Bian agar tidak mengganggu keluarganya, terutama pada putri sulungnya.

Namun sialnya Bian jauh lebih tinggi daripada Erwin dan Anna terlanjur keluar dari dapur membawa piring saji berisi masakannya. Bian menatap Anna, Anna juga menatap Bian.

“Anna…” lirih Bian yang langsung memaksa menerobos masuk.

Anna mundur perlahan, Bian tampak begitu berbeda dari terakhir sebelum ia berpisah. Anna mulai gemetar, menghadapi Bian terasa seperti menghadapi mimpi buruknya kembali.

“B-Bian…” Anna tergagap.

Bian langsung memeluk Anna dengan erat dan sudah tak mampu lagi untuk menahan tangisnya.

“Anna…Anna…” hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Bian yang sedang menangis sembari memeluk Anna dengan begitu erat.

Erwin yang semula ingin memukul Bian dengan tongkat golfnya merasa begitu iba mendengar tangisan Bian yang terdengar begitu memilukan. Seorang pria besar bertubuh atletis dari keluarga kelas atas yang menjadikan presiden sebagai boneka, membuang harga dirinya dan terlihat begitu lemah dihadapan putrinya.

“Aku merindukanmu…” ucap Bian disela tangisnya. “Aku benar-benar merindukanmu, aku mencintaimu dengan segala yang ku miliki dan bisa ku berikan padamu,” tangis Bian yang perlahan meluruh berlutut mengiba di hadapan Anna.

Anna ikut melirih ke lantai bersama Bian. Anna berada di posisi yang sulit sekarang. Anna hanya bisa menangis sambil menggelengkan kepalanya. Ada hati yang harus ia jaga, ada kehidupan yang ia impikan dan harus ia wujudkan. Kehidupannya baru di mulai dan ia tak bisa terus mengikuti ego milik Bian terus-terusan.

“Ayo kembali lagi, aku janji aku akan memperbaiki semuanya…”

Anna menggeleng. “Tidak Bian…” lirih Anna lalu menyeka airmatanya dan berusaha menenangkan dirinya.

Anna bangun sembari menggenggam tangan Bian menariknya untuk ikut bangun bersamanya. Anna menarik Bian untuk duduk di sofa ruang keluarganya. Menangani Bian yang brutal dan penuh kenekatan serta keegoisan dengan cara keras bukan pilihan yang baik, Anna paham betul cara menaklukkan Bian.

“Anna…” rengek Bian yang kembali memeluk Anna begitu duduk di sofa. “Ayo sama-sama lagi…” rengek Bian lagi dan terdengar begitu manja dan rapuh.

Anna tersenyum sambil mengusap pipi dan punggung Bian. “Bian…gak bisa. Ternyata kita gak bisa memaksakan kehendak.”

Bian hanya diam dengan sendu sembari menatap Anna. “Kamu cantik, cantik sekali. Kamu lebih gemuk, aku suka, kamu kelihatan sehat,” Bian mengalihkan pembicaraan.

Anna tersenyum lalu sedikit menjauh dari Bian. “Kamu juga kelihatan lebih sehat…”

“Enggak!” sanggah Bian. “Berat badanku turun banyak. Aku kepikiran kamu terus, kepikiran anak kita juga. Aku merasa bersalah terus,” ucap Bian.

Anna menatap Bian lalu menatap ke sekeliling, keluarganya mengawasinya namun Bian tak peduli dan bertingkah seolah hanya ia dan Anna yang ada disana.

“Gapapa, ini yang terbaik. Kamu gak bisa ngelawan ibumu, keluargamu. Aku juga ga bisa terus sembunyi. Bakal kasian kalo kita punya anak tapi orang tuanya gak nikah. Kamu ngerti kan kondisiku dulu gimana?”

Bian mengangguk, ia mengerti ketakutan Anna.

“Jadi kita gak bisa memaksakan sesuatu, Bi. Hubunganmu sama Eve gimana?”

Bian memalingkan wajahnya.

“Ayo sarapan, aku memasak masakan yang tidak kamu sukai,” ajak Anna.

Bian tersenyum. “Maaf, sekarang aku sudah menyukai masakanmu,” ucap Bian lalu mengikuti Anna keruang makan.

Keluarga Anna memilih untuk mengalah karena melihat Bian yang sudah tidak waras karena putus cinta dan obsesinya pada Anna.

“Aku sudah suka sayur loh sekarang,” ucap Bian ketika Anna mengambilkan sarapan untuknya.

Anna tersenyum, Bian masih bayi besarnya. Tapi ia sudah menjadi milik Boni. Bian makan dengan lahap sambil menatap Anna.

“Sayang masakanmu enak, aku kangen masakanmu,” ucap Bian di sela makannya dengan tangannya yang gemetar.

Anna mengangguk pelan, Bian menggenggam tangan Anna dengan erat sambil mengusapnya. Bian terlihat benar-benar mencintai Anna. Erwin seperti bercermin melihat Bian yang begitu mencintai Anna, dulu ia juga begitu.

“Anna…” panggil Boni yang datang berniat untuk menjemput Anna.

Bian menatap Boni dengan alis bertaut dan pandangannya yang begitu tajam tampak marah melihat kehadiran Boni. Anna langsung menarik tangannya dari Bian, Bian berusaha meraih Anna tapi Anna melangkah lebih dulu kearah Boni.

“Bi, sekarang aku pacaran sama Boni. Bentar lagi kita mau tunangan,” ucap Anna lembut memberitahu Bian.

Boni langsung merangkul Anna dan mencium keningnya didepan mata Bian. Bian membelalakkan matanya lalu tertawa terbahak-bahak.

“Kamu gak usah aneh-aneh deh, Na. Lihat, aku Bian Griffin. Kamu udah tau seberapa kuatnya aku dalam segala hal, ngapain milih OKB kayak dia coba,” ejek Bian.

Boni ingin menghajar Bian, tapi di tengah tawanya yang begitu menggelegar tak berapa lama ia mulai menangis. Boni mundur perlahan.

“Aku akan menunggu di kamarmu,” bisik Boni yang terlanjur masuk dalam suasana canggung dan sedikit mencekam ini.

Boni merasa benar-benar menang mutlak melihat Bian yang begitu kacau dan hancur dihadapannya. Tentu saja ia tak akan melepaskan Anna sedikitpun, Boni merasa keputusannya untuk gerak cepan meresmikan hubungannya dengan Anna bukanlah pilihan yang buruk. Semakin cepat malah akan jadi semakin baik.

Bian menangis dan berteriak begitu keras. Ia terdengar begitu kesakitan. Boni sama sekali tak menyangka jika Anna sepenting dan sekrusial itu bagi Bian. Bian yang sombong dan angkuh itu bertekuk lutut hingga menangis melupakan harga diri juga martabatnya sebagai seorang Griffin hanya karena wanita.

Boni tertawa di dalam kamar Anna. Boni benar-benar bahagia melihat Bian kacau. Ini yang Boni inginkan, ini adalah karma atas kesombongan Bian yang semena-mena padanya juga pada Anna. Boni lebih merasa puas dan senang lagi karena ia yang mengantarkan karma itu dan langsung melemparkannya di wajah sombong Bian yang selalu mendongak ke atas.

Boni benar-benar puas melihat Bian yang begitu arogan dan tak pernah bisa menghargai orang lain sekarang kesakitan hanya karena masalah sepele. Boni benar-benar tidak akan pernah melepaskan Anna untuk apapun. Ia jadi semakin semangat menunjukkan kemesraannya bersama Anna agar Bian semakin tersiksa.

“Anna aku akan melakukan apapun yang kamu mau, apapun Sayangku apapun! Kamu mau aku lepas dari keluargaku? Kamu mau aku keluar dari keluarga Griffin? Apa? Kamu mau apa? Aku akan melakukan semuanya, apapun…tolong kembalilah, ku mohon Anna…” tangis Bian memohon pada Anna.

Anna hanya menggeleng sembari membiarkan Bian menggenggam tangannya sambil menangis dan menciuminya.

“Anna…kumohon…ayo kembali. Aku akan memperbaiki semuanya, aku akan mengkhianati semuanya asal kamu mau kembali.”

Bian terus mengiba memohon pada Anna. Hingga akhirnya ada beberapa pria bertubuh besar datang menjemput Bian dan menyeretnya secara paksa pergi dari rumah keluarga Seymour. Bian melawan dan terus menarik tangan Anna hingga akhirnya, krak!

“Bian! Lepas! Sakit!” jerit Anna ketika tangannya terasa seperti lepas secara harfiah karena Bian.

Bian langsung melepas tangan Anna. Tangisnya seketika berhenti, lengan Anna mengalami dislokasi bahu karena tarikan Bian.

“A-Anna…”

“Pergi! Mau berapa kali lagi kamu bikin Anna sakit? Kenapa orang sepertimu tidak bisa menggunakan sedikit saja fungsi otak? Apa harus menunggu Anna mati di tanganmu dulu baru kamu bisa sadar kalau kamu ini pengaruh negatif bagi Anna?!” bentak Erwin begitu marah pada Bian.

Bian terhenyak mendengar ucapan Erwin. Bian yang semula berontak sekarang diam, ia menatap Anna yang baru saja ia sakiti lagi. Lalu ia menatap Erwin dan menatap semua orang di sekelilingnya. Bian linglung.

“Kenapa kamu terus memaksa Anna untuk berkorban? Apa sesulit itu untuk orang yang katanya mencintai Anna, hanya sekedar untuk melihatnya bahagia? Ku rasa kamu tidak benar-benar mencintai anakku dari awal. Kamu hanya ingin menghancurkannya hingga titik darah penghabisan!”

Bian menggeleng. Ia tak seburuk yang Erwin tuduhkan. Bian benar-benar mencintai Anna dengan segala yang ia bisa dan ia mampu. Bian meneteskan airmatanya setelah sempat berhenti mengalir.

“A-aku tidak begitu…”

“Kalau tidak begitu kenapa kamu masih kemari dan memaksa Anna? Memaksakan egomu! Menyakiti Anna! Apa kamu ingin membuatnya cacat?”

Bian kembali menggeleng. Ia benar-benar tak ingin melakukan hal seburuk itu pada Anna. Bian benar-benar mencintai Anna, hanya saja ia bingung dan tidak mengerti bagaimana cara mengungkapkan dan menunjukkan rasa cintanya dengan cara yang ideal.

“Anna…” lirih Bian, ada banyak hal yang ingin ia katakan dan ia sampaikan pada Anna tapi ia tak bisa mengatakannya. Bian bukan orang yang pandai merangkai kata-kata. “Anna…a-aku…aku pergi karena aku mencintaimu, maafkan aku.” Bian melangkah pergi bersama semua orang yang di kirim untuk menjemputnya. 




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.