Bian
berencana untuk mengirimkan lebih banyak bunga untuk Anna setiap harinya. Tapi
Ibunya terlanjur pulang dan berencana untuk memajukan peresmian pertunangannya
dengan Eve. Bian tak banyak bereaksi, Bian hanya memikirkan cara untuk bisa
kembali bersama Anna lagi.
Bian hanya
memikirkan Anna dan hubungannya. Bian masih belum bisa menerima kenyataan jika
Anna bukan lagi kekasihnya. Bian masih saja menganggap jika Anna hanya sedang
marah padanya dan sedang di kurung oleh orang tuanya saja. Bian benar-benar
merasa jika Anna tetap miliknya dan tidak akan berubah.
“Anna lagi
apa ya sekarang…” lirih Bian sembari memandangi foto Anna yang masih ia simpan.
Bian
menyesal jarang memfoto Anna selama mereka bersama. Sekarang Bian benar-benar
merindukan Anna, merindukan belahan jiwanya. Merindukan pelukannya, omelannya,
dan segala hal soal Anna. Berkali-kali Bian menyemprotkan parfum yang biasa
Anna pakai di kamarnya, tapi ia masih merasa kurang.
Apa ini
yang dirasakan Anna waktu gak bisa ketemu orang yang dia sayangi? Pikir Bian
yang mulai menggunakan hatinya untuk ikut merasakan perasaan orang lain.
Bian
mencoba memejamkan matanya, berharap dengan tidur ia bisa menghabiskan waktunya
dengan lebih cepat. Tapi sekeras apapun ia mencoba ia masih terbayang-bayang
pada Anna dan ini terasa semakin menyiksa karena Bian tau ia bisa menggapai
Anna dengan sedikit kenekatan saja. Maka Bian memutuskan untuk jadi nekat dan
egois seperti kebiasaannya dulu.
Pagi-pagi
sekali Bian pergi ke rumah Anna. Bian tak peduli lagi dengan Melania atau Eve
yang mungkin menghalanginya. Ia sudah mencoba mengalihkan perasaannya untuk Eve
tapi itu sama sekali tidak bekerja. Ia masih merindukan Anna dan semakin coba
Bian tahan semakin ia merasa tersiksa.
Bian
menekan bel pintu rumah keluarga Seymour. Tak ada satpam yang menjaga, jadi
Bian dengan nekat langsung membuka gerbangnya dan membawa mobilnya masuk. Bian
langsung menggetuk pintu rumah namun belum ia ketuk Erwin sudah membuka pintu
duluan.
“Bian!” kaget
Erwin.
“Aku mau ketemu
Anna,” ucap Bian sembari berusaha menerobos masuk.
“Anna gak
dirumah!” bentak Erwin dengan tegas berusaha mengusir Bian agar tidak
mengganggu keluarganya, terutama pada putri sulungnya.
Namun
sialnya Bian jauh lebih tinggi daripada Erwin dan Anna terlanjur keluar dari
dapur membawa piring saji berisi masakannya. Bian menatap Anna, Anna juga
menatap Bian.
“Anna…”
lirih Bian yang langsung memaksa menerobos masuk.
Anna mundur
perlahan, Bian tampak begitu berbeda dari terakhir sebelum ia berpisah. Anna
mulai gemetar, menghadapi Bian terasa seperti menghadapi mimpi buruknya
kembali.
“B-Bian…”
Anna tergagap.
Bian
langsung memeluk Anna dengan erat dan sudah tak mampu lagi untuk menahan
tangisnya.
“Anna…Anna…”
hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Bian yang sedang menangis sembari
memeluk Anna dengan begitu erat.
Erwin yang
semula ingin memukul Bian dengan tongkat golfnya merasa begitu iba mendengar
tangisan Bian yang terdengar begitu memilukan. Seorang pria besar bertubuh
atletis dari keluarga kelas atas yang menjadikan presiden sebagai boneka,
membuang harga dirinya dan terlihat begitu lemah dihadapan putrinya.
“Aku
merindukanmu…” ucap Bian disela tangisnya. “Aku benar-benar merindukanmu, aku
mencintaimu dengan segala yang ku miliki dan bisa ku berikan padamu,” tangis
Bian yang perlahan meluruh berlutut mengiba di hadapan Anna.
Anna ikut
melirih ke lantai bersama Bian. Anna berada di posisi yang sulit sekarang. Anna
hanya bisa menangis sambil menggelengkan kepalanya. Ada hati yang harus ia
jaga, ada kehidupan yang ia impikan dan harus ia wujudkan. Kehidupannya baru di
mulai dan ia tak bisa terus mengikuti ego milik Bian terus-terusan.
“Ayo
kembali lagi, aku janji aku akan memperbaiki semuanya…”
Anna
menggeleng. “Tidak Bian…” lirih Anna lalu menyeka airmatanya dan berusaha
menenangkan dirinya.
Anna bangun
sembari menggenggam tangan Bian menariknya untuk ikut bangun bersamanya. Anna
menarik Bian untuk duduk di sofa ruang keluarganya. Menangani Bian yang brutal
dan penuh kenekatan serta keegoisan dengan cara keras bukan pilihan yang baik,
Anna paham betul cara menaklukkan Bian.
“Anna…”
rengek Bian yang kembali memeluk Anna begitu duduk di sofa. “Ayo sama-sama
lagi…” rengek Bian lagi dan terdengar begitu manja dan rapuh.
Anna
tersenyum sambil mengusap pipi dan punggung Bian. “Bian…gak bisa. Ternyata kita
gak bisa memaksakan kehendak.”
Bian hanya
diam dengan sendu sembari menatap Anna. “Kamu cantik, cantik sekali. Kamu lebih
gemuk, aku suka, kamu kelihatan sehat,” Bian mengalihkan pembicaraan.
Anna
tersenyum lalu sedikit menjauh dari Bian. “Kamu juga kelihatan lebih sehat…”
“Enggak!”
sanggah Bian. “Berat badanku turun banyak. Aku kepikiran kamu terus, kepikiran
anak kita juga. Aku merasa bersalah terus,” ucap Bian.
Anna
menatap Bian lalu menatap ke sekeliling, keluarganya mengawasinya namun Bian
tak peduli dan bertingkah seolah hanya ia dan Anna yang ada disana.
“Gapapa,
ini yang terbaik. Kamu gak bisa ngelawan ibumu, keluargamu. Aku juga ga bisa
terus sembunyi. Bakal kasian kalo kita punya anak tapi orang tuanya gak nikah.
Kamu ngerti kan kondisiku dulu gimana?”
Bian
mengangguk, ia mengerti ketakutan Anna.
“Jadi kita
gak bisa memaksakan sesuatu, Bi. Hubunganmu sama Eve gimana?”
Bian
memalingkan wajahnya.
“Ayo
sarapan, aku memasak masakan yang tidak kamu sukai,” ajak Anna.
Bian
tersenyum. “Maaf, sekarang aku sudah menyukai masakanmu,” ucap Bian lalu
mengikuti Anna keruang makan.
Keluarga
Anna memilih untuk mengalah karena melihat Bian yang sudah tidak waras karena
putus cinta dan obsesinya pada Anna.
“Aku sudah
suka sayur loh sekarang,” ucap Bian ketika Anna mengambilkan sarapan untuknya.
Anna
tersenyum, Bian masih bayi besarnya. Tapi ia sudah menjadi milik Boni. Bian
makan dengan lahap sambil menatap Anna.
“Sayang
masakanmu enak, aku kangen masakanmu,” ucap Bian di sela makannya dengan
tangannya yang gemetar.
Anna
mengangguk pelan, Bian menggenggam tangan Anna dengan erat sambil mengusapnya.
Bian terlihat benar-benar mencintai Anna. Erwin seperti bercermin melihat Bian
yang begitu mencintai Anna, dulu ia juga begitu.
“Anna…”
panggil Boni yang datang berniat untuk menjemput Anna.
Bian
menatap Boni dengan alis bertaut dan pandangannya yang begitu tajam tampak
marah melihat kehadiran Boni. Anna langsung menarik tangannya dari Bian, Bian
berusaha meraih Anna tapi Anna melangkah lebih dulu kearah Boni.
“Bi,
sekarang aku pacaran sama Boni. Bentar lagi kita mau tunangan,” ucap Anna
lembut memberitahu Bian.
Boni
langsung merangkul Anna dan mencium keningnya didepan mata Bian. Bian
membelalakkan matanya lalu tertawa terbahak-bahak.
“Kamu gak
usah aneh-aneh deh, Na. Lihat, aku Bian Griffin. Kamu udah tau seberapa kuatnya
aku dalam segala hal, ngapain milih OKB kayak dia coba,” ejek Bian.
Boni ingin
menghajar Bian, tapi di tengah tawanya yang begitu menggelegar tak berapa lama
ia mulai menangis. Boni mundur perlahan.
“Aku akan
menunggu di kamarmu,” bisik Boni yang terlanjur masuk dalam suasana canggung
dan sedikit mencekam ini.
Boni merasa
benar-benar menang mutlak melihat Bian yang begitu kacau dan hancur
dihadapannya. Tentu saja ia tak akan melepaskan Anna sedikitpun, Boni merasa
keputusannya untuk gerak cepan meresmikan hubungannya dengan Anna bukanlah
pilihan yang buruk. Semakin cepat malah akan jadi semakin baik.
Bian
menangis dan berteriak begitu keras. Ia terdengar begitu kesakitan. Boni sama
sekali tak menyangka jika Anna sepenting dan sekrusial itu bagi Bian. Bian yang
sombong dan angkuh itu bertekuk lutut hingga menangis melupakan harga diri juga
martabatnya sebagai seorang Griffin hanya karena wanita.
Boni
tertawa di dalam kamar Anna. Boni benar-benar bahagia melihat Bian kacau. Ini
yang Boni inginkan, ini adalah karma atas kesombongan Bian yang semena-mena
padanya juga pada Anna. Boni lebih merasa puas dan senang lagi karena ia yang
mengantarkan karma itu dan langsung melemparkannya di wajah sombong Bian yang
selalu mendongak ke atas.
Boni
benar-benar puas melihat Bian yang begitu arogan dan tak pernah bisa menghargai
orang lain sekarang kesakitan hanya karena masalah sepele. Boni benar-benar
tidak akan pernah melepaskan Anna untuk apapun. Ia jadi semakin semangat
menunjukkan kemesraannya bersama Anna agar Bian semakin tersiksa.
“Anna aku
akan melakukan apapun yang kamu mau, apapun Sayangku apapun! Kamu mau aku lepas
dari keluargaku? Kamu mau aku keluar dari keluarga Griffin? Apa? Kamu mau apa?
Aku akan melakukan semuanya, apapun…tolong kembalilah, ku mohon Anna…” tangis
Bian memohon pada Anna.
Anna hanya
menggeleng sembari membiarkan Bian menggenggam tangannya sambil menangis dan
menciuminya.
“Anna…kumohon…ayo
kembali. Aku akan memperbaiki semuanya, aku akan mengkhianati semuanya asal
kamu mau kembali.”
Bian terus
mengiba memohon pada Anna. Hingga akhirnya ada beberapa pria bertubuh besar
datang menjemput Bian dan menyeretnya secara paksa pergi dari rumah keluarga
Seymour. Bian melawan dan terus menarik tangan Anna hingga akhirnya, krak!
“Bian!
Lepas! Sakit!” jerit Anna ketika tangannya terasa seperti lepas secara harfiah
karena Bian.
Bian
langsung melepas tangan Anna. Tangisnya seketika berhenti, lengan Anna mengalami
dislokasi bahu karena tarikan Bian.
“A-Anna…”
“Pergi! Mau
berapa kali lagi kamu bikin Anna sakit? Kenapa orang sepertimu tidak bisa
menggunakan sedikit saja fungsi otak? Apa harus menunggu Anna mati di tanganmu
dulu baru kamu bisa sadar kalau kamu ini pengaruh negatif bagi Anna?!” bentak
Erwin begitu marah pada Bian.
Bian
terhenyak mendengar ucapan Erwin. Bian yang semula berontak sekarang diam, ia
menatap Anna yang baru saja ia sakiti lagi. Lalu ia menatap Erwin dan menatap
semua orang di sekelilingnya. Bian linglung.
“Kenapa
kamu terus memaksa Anna untuk berkorban? Apa sesulit itu untuk orang yang
katanya mencintai Anna, hanya sekedar untuk melihatnya bahagia? Ku rasa kamu
tidak benar-benar mencintai anakku dari awal. Kamu hanya ingin menghancurkannya
hingga titik darah penghabisan!”
Bian
menggeleng. Ia tak seburuk yang Erwin tuduhkan. Bian benar-benar mencintai Anna
dengan segala yang ia bisa dan ia mampu. Bian meneteskan airmatanya setelah
sempat berhenti mengalir.
“A-aku
tidak begitu…”
“Kalau
tidak begitu kenapa kamu masih kemari dan memaksa Anna? Memaksakan egomu!
Menyakiti Anna! Apa kamu ingin membuatnya cacat?”
Bian
kembali menggeleng. Ia benar-benar tak ingin melakukan hal seburuk itu pada
Anna. Bian benar-benar mencintai Anna, hanya saja ia bingung dan tidak mengerti
bagaimana cara mengungkapkan dan menunjukkan rasa cintanya dengan cara yang
ideal.
“Anna…” lirih Bian, ada banyak hal yang ingin ia katakan dan ia sampaikan pada Anna tapi ia tak bisa mengatakannya. Bian bukan orang yang pandai merangkai kata-kata. “Anna…a-aku…aku pergi karena aku mencintaimu, maafkan aku.” Bian melangkah pergi bersama semua orang yang di kirim untuk menjemputnya.
0 comments