“Kak Bian!”
sambut Eve begitu Bian sampai rumah.
Bian
tersenyum getir lalu memeluk Eve. Bian memejamkan matanya, berharap ketika
membuka matanya nanti Eve yang ia peluk berubah jadi Anna. Meskipun harapannya
terdengar begitu konyol dan memalukan.
“Aku kangen
sama Kak Bian,” ucap Eve yang sudah memasuki bangku perkuliahan juga.
Bian
tersenyum lalu mengangguk. Bian begitu kelu menjawab ucapan Eve, rasanya segala
kemanjaannya dan seluruh perasaannya sudah ia berikan seutuhnya hanya untuk
Anna.
“Aku bikin
iga panggang kesukaanmu,” ucap Eve sembari merangkul Bian masuk ke dalam
rumahnya sendiri.
“Sepi…”
lirih Bian.
Rumah Bian
selalu terasa sepi dan hampa sejak ayahnya meninggal bertahun-tahun yang lalu.
Pelayan memang ada banyak, tapi tetap terasa sepi bagi Bian. Tapi jika ibunya
ada disana suasana juga tidak akan menjadi lebih baik. Suasana yang semula sepi
akan menjadi menegangkan.
“Aku bakal
sering kesini kalo Kak Bian bolehin,” ucap Eve menawarkan diri.
“Kenapa
tidak ada sayuran?” tanya Bian melihat makanan yang tersaji untuknya.
“Kak Bian
kan gak suka.”
“Suka, aku
pengen makan sayur.”
Pelayan
langsung datang dan buru-buru menukar makanan Bian dengan menambah sedikit
sayur. Bian hanya diam memandang makanannya. Benar sudah ada sayurannya. Tapi
ini bukan yang Bian mau. Ia merindukan masakan yang Anna buat dan siapkan
untuknya.
Bian
merindukan masakan rumahan yang rasanya tidak setabil dan yakin selalu enak.
Bian merindukan masakan yang Anna buat sekenanya dengan bumbu dan bahan
seadanya. Makan sambil menonton TV tanpa perlu table manner dan segala
kesopanan yang harus ia junjung tinggi. Makanan yang ia nikmati tiap suapnya
dan bukan hanya sebatas melewati kerongkongannya saja.
“Tadi
katanya Kak Bian mampir ke florist ya?” tanya Eve.
Bian
menatap Eve sembari menyelesaikan kunyahannya.
“Terus
bunga buat aku mana?”
“Apa aku
harus melaporkan segala hal yang ku jalani? Apa aku harus kamu awasi 24/7? Apa
aku harus membelikanmu bunga tabur juga? Apa kamu gak tau aku punya batasan
pribadi? Apa kamu gak paham apa itu privasi?” cecar Bian begitu marah ketika
sadar jika supir yang menjemputnya bukan supirnya sendiri.
“T-tapi aku
kan hanya bertanya, kenapa Kak Bian semarah ini…” lirih Eve dengan alis
berkerut dan langsung berkaca-kaca.
“Sepertinya
menghabiskan hidupku bersamamu seperti menjadi tahanan dalam kota,” sarkas
Bian.
“Kak Bian
kan bisa bilang kalo…”
Bian
bangkit dari duduknya lalu pergi ke mobil yang ia naiki sebelumnya mengambil
bunga tabur yang ia beli lalu melemparkannya di wajah Eve. Sopir yang di minta
Eve untuk menjemput Bian berlari mengikutinya dan bersiap pasang badan untuk
melindungi Eve.
“Kamu di
pecat! Kamu berhak pergi dan enyah dari hadapanku!” bentak Bian pada Andy.
“Jangan!
Kak Bian gak ada hak buat pecat Andy!” bentak Eve.
“Lalu kamu
berhak memata-mataiku?”
Eve diam ia
salah dan semakin ia membela diri, ia akan semakin salah dan terpojok.
Bian
langsung masuk dan masuk kedalam lift meninggalkan Eve bersama supir sekaligus
pengawalnya. Eve mulai menangis tersedu-sedu, pelayan di rumah Bian hanya diam
seolah apa yang terjadi adalah hal yang wajar dan sudah biasa.
“Nona…”
“Aku mau
pulang,” sela Eve yang langsung mengambil tasnya dan pergi bersama Andi kembali
ke rumahnya.
Eve
benar-benar tak menyangka Bian akan berkata begitu pedas bahkan sampai melempar
bunga tabur yang ia beli ke wajahnya. Eve hanya ingin memastikan apakah Bian
masih pergi ke tempat Anna atau tidak. Hanya memastikan apakah Bian benar-benar
memulai kehidupan barunya atau tidak. Sebatas itu saja, namun setelah kemarahan
Bian ia jadi sadar jika ia sudah keterlaluan.
“Tadi Tuan
Bian…”
“Cukup
Andi, tidak perlu. Aku tidak butuh informasi soal Kak Bian lagi. Aku tidak bisa
terus memata-matainya,” potong Eve yang masih berurai airmata.
Andy diam,
ia benar-benar merasa iba pada Eve yang terus berusaha menjadi ideal dan
sempurna untuk Bian yang begitu dingin dan kasar padanya. Andy merasa Eve
berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Bian. Namun saat Andy
menatap pantulan wajahnya di sepion, ia sadar jika hanya Bian pria terbaik dan
yang paling pantas bersandang dengan Eve.
***
Anna selalu
menjadi kebanggaan dan kesayangan bagi keluarga El-baz yang akan menjadi besan
keluarga Seymour. Devi selalu membanggakan calon menantunya itu ke semua orang.
Anna begitu senang menerima perhatian dan perlakuan yang Devi berikan padanya.
Ia hampir tidak akan pernah bisa merasakan ini jika ia masih bersama Bian.
“Calon
mantuku ma pinter masak, kemarin aku di bawain masakannya enak banget,” puji
Devi yang begitu senang membanggakan Anna.
Anna
tersenyum sumringah mendengar pujian Devi.
“Wah, Boni
nani jadi gemuk ini kalo istrinya pinter masak,” puji yang lain menimpali.
“Anna kan
ambil jurusan gizi, pasti bakal di jagain banget kesehatan suaminya,” ucap yang
lain sudah saling bersautan dengan sendirinya.
Boni
tersenyum lalu menggenggam tangan Anna. Keduanya tampak bahagia berkumpul
bersama ibu-ibu sosialita. Sampai akhirnya Anna pulang bersama Tania. Devi
berusaha membawakan segala yang bisa ia berikan untuk calon besannya. Sementara
Tania dan Anna begitu sungkan menerima segala pemberian dari Devi.
“Hati-hati
di jalan…” ucap Devi dengan ramah dan hangat mengantar kepergian Tania dan Anna
sambil melambaikan tangannya bersama Boni.
“Kayaknya
Boni jauh lebih baik daripada Bian, ya?” ucap Tania yang coba membuka
pembicaraan dengan bergosip. Menurut Tania semua perempuan pasti suka bergosip
dan ini adalah langkah yang tepat untuk memulainya.
Anna
tersenyum. “Yang lalu biar berlalu, Ma,” ucap Anna yang enggan membandingkan
dua pria yang mengisi hatinya.
Tania
tersenyum, sepertinya cara itu tidak berlaku untuk semua orang. Anna bukan tipe
perempuan yang senang bergosip dan selalu berhati-hati saat bicara. Meskipun
mendekati Anna bukan hal yang sulit seperti saat mendekati Lidia, namun
sejujurnya Tania ragu apakah ia sudah berhasil mencuri hati Anna atau belum.
Anna seperti air tenang yang menghanyutkan.
Begitu
sampai rumah Anna langsung masuk ke kamarnya. Ia terdiam melihat sebuah buket
bunga berwarna putih. Anna mendekat dan mendapati adanya kartu ucapan dari
Bian. Nafasnya langsung terasa begitu sesak. Setelah tepat dua tahun menjalani
kehidupan bebasnya kini Bian kembali mendekatinya lagi.
“Aku
merindukanmu, ini hari ulang tahun anak kita kalo kamu ingat. Aku memikirkanmu
setiap saat. Aku sangat mencintaimu, tidak akan pernah tergantikan sampai
kapanpun.”
Anna
mengusap wajahnya lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Airmatanya
mengalir, pikirannya kembali kalut. Ia ingat betapa egoisnya Bian, betapa
kejamnya Bian hingga ia kehilangan ibunya bahkan di saat terakhirnya pun Anna
tak bisa menemani, Bian juga terus mengurungnya tanpa alasan yang masuk akal,
hingga ia keguguran sekalipun. Terlalu banyak kenangan buruk yang Bian
tinggalkan untuk Anna.
Anna tak
mau menemui Bian. Anna tidak mau terkurung dalam pengaruh kuasa Bian lagi. Anna
tidak mau menggadaikan kebebasannya lagi. Anna sudah bebas dan memiliki
pasangan yang jauh lebih baik daripada Bian. Anna ingin mengubur semua
ingatannya bersama Bian. Tapi sejenak ia juga teringat pada janinnya yang
keguguran dua tahun lalu.
“Anakku…”
lirih Anna lalu memasukkan kartu ucapan Bian kedalam lacinya dan pergi keluar
untuk membuang buket bunga pemberiannya.
***
Bian tak
mendapat tanggapan apapun dari Anna, ia memutuskan untuk kembali mengirim bunga
untuk Anna. Bian kembali pergi ke toko bunga, memilih bunga yang sama seperti
sebelumnya juga sebuah keranjang bunga tabur. Kali ini Bian pergi sendiri, ia
masih merasa trauma dan tidak nyaman setelah insiden supir kemarin.
Tapi sayang
tepat ketika Bian sampai di rumah keluarga Seymour, ia melihat pelayan yang membuang
buket bunganya kemarin. Bian mengerutkan keningnya lalu coba menghentikan
pelayan itu.
“Iya Tuan?”
“Bisa aku
memeriksa buket bunga itu?” pinta Bian.
Pelayan itu
langsung memberikan buket bunga itu pada Bian. Bian langsung mencari kartu
ucapannya yang barang kali masih tertinggal disana dan Anna tak sempat
membacanya.
“Apa ada
kartu di dalamnya? Kartu ucapan?” tanya Bian dengan panik.
Pelayan itu
menggeleng.
“Kartu
ucapan seperti ini?” Bian menunjukkan kartu ucapannya yang ada di dalam buket
bunganya yang baru.
Pelayan itu
langsung menurunkan plasik sampahnya dan membantu Bian mencari kartu yang ia
maksud. Tapi itu plastik sampah pertama yang di buang dari rumah keluarga
Seymour dan kartu yang Bian cari tidak ketemu. Bukannya panik kali ini Bian
malah tersenyum dan tampak lega.
“Yasudah
tidak apa-apa, aku mau memberikan yang baru saja untuk Anna,” ucap Bian setelah
puas mencari.
Pelayan itu
mengerutkan keningnya heran namun ia langsung mengangguk dan tersenyum. Keluarga
Griffin memang sulit di tebak, pikir pelayan itu.
“Nona Anna
tidak di rumah, pagi tadi sudah pergi ke kampus.”
“Kalau
begitu aku menitipkan ini saja,” putus Bian lalu memberikan buket bunganya pada
si pelayan lalu pergi dari sana.
Andy
memperhatikan bian di kejauhan lalu mengikuti mobil Bian yang pergi dari rumah
keluarga Seymour. Bian kembali pulang kerumahnya, Andy sempat menunggu di depan
rumah keluarga Griffin, namun hingga sore Bian sama sekali tidak pergi lagi.
Hingga menjelang malam Melania tampak bersama rombongan pengawalnya sampai di
rumah, barulah Andy pergi darisana.
***
Anna begitu
senang bisa memilih cincin tunangannya bersama Boni juga sebuah gaun dan
setelan jas khusus untuk acara tunangannya. Boni juga sudah membahas soal rumah
yang akan mereka tinggali kelak dan sudah dalam proses pembangunan oleh
keluarganya sebagai hadiah pernikahan kelak. Segala persiapan benar-benar di
persiapkan dengan matang.
Boni juga
sudah memposting vidio jalan-jalannya sebagai pembukaan channel youtube yang
rencananya akan menjadi jurnal cinta mereka. Anna jadi semakin bahagia dan
senang karena Boni selalu membanggakannya dan memamerkan hubungannya tanpa
sungkan dan kekhawatiran.
“Besok aku
mau ada tanding basket, kamu bisa dateng kan?” tanya Boni pada Anna.
Anna
langsung mengangguk dengan semangat. “Aku bakal bawain bekal sehat buat kamu,”
ucap Anna begitu senang. “Sayang pengen aku bikinin apa?” tanya Anna antusias.
Boni tertawa
senang mendengar pertanyaan Anna. Ini adalah kalimat yang selalu ia ingin Anna
katakan padanya.
“Aku suka
tumisan brokolimu, sama rice bowl yang kamu bikinin waktu kita jalan di
kebun binatang kemarin itu loh,” ucap Boni yang langsung rikues menu kesukaannya.
Anna
mengangguk sambil mengacungkan dua jempolnya. “Oke siap! Aku bakal bikinin menu
piknik kita lagi!” ucap Anna dengan semangat.
Boni
mengangguk lalu berbelok menuju rumah Anna. Boni benar-benar mengerti sekarang
kenapa Bian bisa begitu terikat dengan Anna. Boni awalnya memang mendekati Anna
hanya sebatas agar Bian merasa kalah darinya saja. Tapi sepertinya taktiknya
salah karena ia dan Bian tidak masuk dalam grup yang sama dan Bian juga tak
mengikuti sosial medianya.
Meskipun
begitu ketika ia menjalani harinya sebagai pasangan dengan Anna, ia mengerti
betapa menyenangkannya Anna. Perhatian kecil yang Anna berikan, Anna yang mampu
jadi pendengar yang baik, jujur dan sopan. Tapi daripada itu semua, Boni merasa
dirinya benar-benar di butuhkan oleh Anna yang selalu memperlakukannya bak
seorang pahlawan yang selalu dinanti-nantikan.
“Da,
hati-hati…” ucap Anna begitu sampai di rumahnya sambil melambaikan tangannya
dengan wajah yang begitu sumringah. “Ma, besok Boni mau ada tanding. Aku mau
masakin bekal buat dia abis tanding nanti,” ucap Anna begitu memasuki rumahnya
dan di sambut oleh Tania.
“Wah
serunya! Sayang banget seminggu ini Mama harus nemenin Ayah dinas keluar
negeri,” ucap Tania sedih.
Anna
tersenyum maklum. “Gapapa, Mama hati-hati. Doain biar Boni menang ya,” ucap
Anna lalu masuk ke kamarnya sementara Tania lanjut sibuk mempersiapkan
keberangkatannya menemani suaminya dinas.
Anna
kembali disambut oleh buket bunga pemberian Bian. Anna masih kaget dan
tercekat. Ia merasa tali kekang yang Bian sebut dengan cinta itu kembali
mengikat lehernya hingga nafanya sesak. Anna mendekat ke buket bunganya lalu
mengambil kartu ucapannya.
“Anna
tersayang, aku kangen sekali. Aku masih sangat mencintaimu, tidak ada yang
berubah atas perasaanku. Hariku berjalan sulit dan terasa sangat lama saat aku
tak dapat melihatmu. Ayo bertemu, hanya bertemu sebentar saja tidak masalah.”
Anna menghela nafas dengan berat. Hatinya sedikit goyah, Anna ingat betul betapa rapuhnya Bian. Bahkan di tiap kemarahan Bian yang diluapkan padanya, Anna masih bisa melihat jika bian hanya sedang menutupi sisi lemahnya. Anna ingin menemui Bian, tapi disisi lain ada hati yang harus ia jaga.
0 comments