Anna mulai
hidup di rumah Ayahnya bersama Lidia dan memulai lembaran baru dengan menerima
Tania sebagai ibu sambungnya dan bersedia dengan berat hati di klaim sebagai
anak dari Tania dan Erwin secara sah di negara. Banyak hal yang berubah, hingga
ke semua surat-surat seperti akte hingga ijazah. Meskipun Anna dan Lidia sangat
merasa berat dan keberatan dengan perubahan yang harus mereka alami, namun
mereka terpaksa setuju demi kehidupan yang lebih baik dan wasiat dari Ibunya.
“Anna,”
sapa Tania setelah mengetuk pintu kamar Anna dan langsung membukanya.
Anna
tersenyum melihat Tania yang masuk kedalam kamarnya sambil menenteng sebuah box
hp baru.
“Mama gak
tau Anna suka apa enggak, tapi Mama liat Anna udah perlu HP baru. Biar semangat
kuliahnya,” ucap Tania dengan wajah sumringahnya berharap Anna mau menerima
pemberiannya dan menggunakannya dengan baik.
Anna
menatap ponsel baru yang di hariahkan ibu sambungnya itu dengan senang. Ia
langsung menerimanya dan membuka box hp barunya. Sebuah ponsel berwarna rose
gold kesukaannya. Anna suka sesuatu bernuansa merah muda.
“Makasih
Ma, Anna suka,” ucap Anna lalu memeluk Tania yang sudah melebarkan tangannya
untuk memeluk Anna.
Lidia
terdiam di depan pintu kamar mandi saat melihat Anna dan Tania berpelukan. Tapi
tak selang lama Tania langsung melepaskan pelukannya dengan Anna lalu berlari
keluar.
“Sebentar,
Mama ada hadiah juga buat Lidia,” ucap Tania.
Anna
tersenyum lalu menunjukkan ponsel barunya pada Lidia.
“Kakak suka
ya sama Tante Tania?” tanya Lidia.
Anna
menghela nafas lalu tersenyum. “Ibu kan titipin kita ke mereka,” ucap Anna
lembut lalu menggenggam tangan Lidia sembari menariknya dengan lembut untuk
duduk di tempat tidurnya. “Tante Tania pasti juga mengalami waktu yang sulit
waktu tau Ayah udah punya kita sama Ibu. Kita ga bisa egois, marah terus ke
Tante Tania. Dia udah berusaha dengan baik, kita juga harus berusaha nerima
dia,” Anna coba menasehati adiknya.
“Tapi
hatiku susah nerimanya,” ucap Lidia murung.
Anna
tersenyum lalu memeluk Lidia. “Gapapa gak usah dipaksakan, yang penting kamu
gak benci sama Tante Tania aja,” ucap Anna lembut yang di angguki Lidia.
Tania
terdiam di depan pintu samar mendengarkan ucapan Anna yang mencoba memberi
pengertian agar Lidia bisa menerimanya. Tania mengatur nafasnya lalu mengetuk
pintu kamar Anna. Tania menunjukkan sebuah Ipad yang ia beli khusus untuk
Lidia.
“Ayah
bilang Lidia suka gambar, jadi Mama beliin ini biar nanti bisa gabung club
gambar juga,” ucap Tania dengan begitu semangat mendukung hobi putri
sambungnya.
“Thanks,”
jawab Lidia singkat dan terkesan dingin, begitu berbeda dengan tanggapan Anna
yang lebih ramah.
Tania
memeluk Lidia lebih awal tidak seperti saat bersama Anna, tapi Lidia langsung
menyikutnya pelan dan melepaskan pelukannya.
“A-aku gak
suka di peluk,” ucap Lidia lalu meletakkan tote bag berisi Ipadnya diatas meja
belajar lalu mengambil tasnya dan pergi keluar lebih awal.
“Lidia
masih perlu penyesuaian, Ma,” ucap Anna lalu mengelus tangan Tania.
Tania
tersenyum lalu mengangguk. “Gapapa, nanti lama-lama juga bisa sayang ya…” ucap
Tania menguatkan dirinya sendiri dan langsung di angguki Anna.
***
Lidia
berangkat sekolah lebih awal. Ia masuk ke SMA yang sama dengan Anna.
Kehidupannya sekolahnya jauh lebih baik dan menyenangkan daripada saat Anna
sekolah dulu. Maklum sekarang ia datang sebagai anak dari Erwin Seymour bukan
penerima beasiswa Griffin Schollarship seperti Anna dulu.
Sementara
itu Anna juga mulai berkuliah di kampus yang sama dengan Boni. Kampus negeri
ternama dan menjadi favorit, meskipun di kalangan pejabat dan masyarakat kelas
atas kampusnya termasuk kampus biasa dan cenderung buangan. Erwin jelas sudah
menawarkan untuk mengambil pendidikan di luar negeri seperti Swis, Inggris,
atau bahkan ke Amerika tapi Anna memilih mengambil pendidikan S1 nya di dalam
negeri. Anna masih trauma dengan kehidupan kelas atas yang ia jalani
sebelumnya.
Boni
sendiri memilih untuk masuk di kampus negeri karena ingin membuat dirinya
semakin terkenal di hadapan masyarakat agar kelak bisa masuk dalam pemerintahan
sebagai anggota dewan atau mentri. Selain itu begitu ia tau Anna juga masuk di
kampus yang sama dengannya membuatnya semakin senang dan yakin pada pilihannya.
Bian dan gengnya juga sudah berpisah, semua memulai kehidupannya masing-masing
setelah lulus SMA.
“Anna!”
sapa Boni dengan senyum sumringahnya menyambut Anna yang akhirnya selesai
kelas.
Anna
tersenyum melihat Boni lalu berlari kecil menghampirinya. “Mamamu udah di
rumahku,” ucap Boni sembari menunjukkan pesan dari Ibunya.
Anna
mengangguk sambil tersenyum sumringah. Anna senang menjalani kehidupan
percintaannya yang baru bersama Boni. Anna senang akhirnya ia di pertemukan
dengan pria yang sekufu dengannya. Tak ada kekhawatiran atas restu, atas
cemoohan publik, bahkan pada saat di tempat umum ia juga tak perlu khawatir
pada apapun lagi karena tak ada yang memperlakukannya dengan buruk dan penuh
hinaan.
“Ibu bilang
buat ajak kamu milih cincin buat tunangan bulan depan, gimana menurutmu?” tanya
Boni yang selalu meminta pertimbangan Anna dan melibatkannya dalam segala
keputusannya.
Anna
terdiam lalu mengangguk sambil tersenyum. Anna tak pernah di ajak memutuskan
sesuatu bersama sebelumnya saat masih bersama Bian.
“Besok?”
tanya Anna.
Boni
mengangguk. “Ya kalo kamu gak ada acara besok,” jawab Boni santai sambil
menyetir menuju rumahnya dimana ibunya dan paraa sosialita lain sedang
berkumpul untuk arisan.
“Aku ada
acara, aku mau ngerjain tugas sama kelompokku,” ucap Anna sambil meringis takut
jika Boni marah.
“Seharian?”
tanya Boni memastikan.
Anna
mengambil ponselnya. “Pagi sih, sebelum makan siang harusnya udah selesai.”
“Kalo sore
kita cari cincin gimana?” tanya Boni memberi opsi.
Anna
mengangguk.
“Nanti kalo
belum nemu, kita cari lagi besoknya santai aja. Btw, kamu mau warna
dekornya apa?” tanya Boni yang terlihat antusias dengan acara pertunangannya
dengan Anna.
Anna
terdiam sejenak. “Aku pengen warna pink, tapi kayaknya nanti kamu malu
kalo warna pink.”
“Gapapa,
aku suka warna pink juga kalo kamu suka. Kata orang-orang nikah itu
kebanyakan bakal jadi acaranya cewek-cewek. Jadi aku pengen kamu menikmati
acaranya. Aku ngikutin kamu gapapa, lagian abis nikah kan kamu yang ngikutin
aku.”
Anna
tertawa mendengar ucapan Boni begitu pula dengan Boni yang ikut tertawa karena
tawa Anna. Keduanya tampak sama-sama tidak sabar meresmikan hubungannya
meskipun masih harus menunggu lama untuk menikah.
“Makasih ya
udah nerima aku apa adanya,” ucap Anna lembut sembari menggenggam tangan Boni.
“Apa adanya
gimana? Aku nerima kamu karena ada apanya tau gak. Kamu tu udah cantik, baik,
pinter, masakannya enak, penyayang, boong banget kalo nerima kamu apa adanya.
Kamu tu udah paket lengkap segalanya,” ucap Boni yang selalu membuat Anna
tersipu.
Anna
menyukai hubungannya dengan Boni yang terasa jauh lebih sehat dan menyenangkan
daripada bersama Bian dulu. Terlebih Boni juga tidak mengajaknya tinggal
bersama dan memaksanya untuk terus berhubungan intim, Boni jauh lebih manusiawi
dan memperlakukannya dengan baik. Bagi Anna tak ada pria yang bisa menyamai
kebaikan Ayahnya selain Boni untuk saat ini. Boni benar-benar figur ideal yang
ia dambakan.
“Kalo pagi
kamu ada kelompok, aku mau edit vlog kita yang kemarin kalo gitu,” ucap Boni.
“Yang ke
kebun binatang?” tanya Anna.
Boni
mengangguk. “Aku takut kalo kita keliatan norak,” ucap Boni sambil meringis.
Anna
menatap Boni, ini kali pertamanya memamerkan hubungannya kedepan publik bahkan
hingga mempostingnya di internet. Tapi daripada khawatir terlihat norak, Anna
lebih khawatir kalau ia akan membuat Boni malu. Anna tau posisi Boni di sekolah
dulu seperti apa, bahkan saat teman-temannya sesama alumni tau jika ia
berpacaran dengan Boni, Boni jadi punya julukan baru sebagai ‘Tempat Sampah
Bian’.
“Gapapa,
kita kan bikin niatnya cuma sebatas buat seneng-seneng aja,” ucap Anna mencoba
menghibur Boni.
Boni
tersenyum dan kembali mengangguk. “Yaudah lah, biasanya juga aku sering di
kata-katain. Biarin aja,” putus Boni yang akhirnya memilih untuk pasrah karena sudah
terbiasa di bully dan jadi bahan cemoohan.
Anna
meringis mendengarnya. Ia jadi merasa sungkan dan sedikit bersalah karena dulu
hanya bisa diam dan pasrah membiarkan Boni dijadikan pesuruh. Tapi Anna sendiri
saat itu juga tak punya kekuatan apapun untuk membela orang lain.
“Maaf ya…”
“Maaf
kenapa? Aku banyak kamu bantu. Kalo kamu gak sama Bian aku ga tau kehidupanku
pasti lebih berat. Hah…untung udah lulus.”
Anna
tersenyum mendengar Boni yang jauh lebih santai dari yang ia bayangkan.
***
Bian
berdiri mengawasi dengan seksama dan menunggu bunga pilihannya selesai di
rangkai beserta kartu ucapan yang terselip diantara bunga-bunga itu. Hari ini
ia ingin menemui Anna kembali. Bian tau dimana kediaman keluarga Seymour
setelah ayah Eve resmi menjadi presiden. Bian ingin memperbaiki keadaannya
bersama Anna, Bian ingin memulai hidup baru lagi dengan Anna meskipun hari
pertunangannya sudah tinggal menghitung hari.
“Anna ada
?” tanya Bian ketika pelayan membuka pintu.
“Wah! Maaf
Tuan, Nona Anna sedang tidak di rumah. Tapi kalau mau menunggu bisa, nanti jam
lima sore biasanya sudah pulang.”
Bian
meringis, ia ingin bertemu Anna tapi jika waktunya terbuang percuma hanya untuk
menunggu ia tidak bisa. “Ini, saya titip bunga ini saja. Tolong di sampaikan
pada Anna,” ucap Bian lalu sedikit membungkukkan badannya dengan sopan sebelum
kembali kedalam mobilnya dan pergi darisana.
Bian sudah
jauh belajar soal sopan santun sejak ia sekolah di Swis. Pendikan ketat dan
keras dari Ibunya membuatnya sadar menjadi orang yang lebih ramah dan manusiawi
seperti yang Anna lakukan jauh lebih enak. Bian jadi bisa lebih di terima
banyak orang dan berbaur dengan baik sekarang.
Bian
memejamkan matanya lalu membayangkan jika Anna sekarang masih bersamanya. Bian
menggenggam ujing bantal yang ada di sampingnya. Bian membayangkan jika ia ada
dalam mobil yang sama bersama Anna mungkin sekarang ia akan memeluknya dan
memanjakan Anna. Membiarkannya tiduran meringkuk berbantalan pahanya sembari
menciumi tangannya atau duduk bersandar di bahunya sambil sesekali menciuminya.
Bian benar-benar merindukan Anna.
Bian
menghela nafas. Ia merindukan Anna lebih dari apapun yang ada di dunia ini.
Sekarang ia sudah pulang, Anna begitu dekat dengannya tapi begitu sulit ia
raih. Bian menatap keluar melihat anak SMA yang berjalan bersama menuju halte
bus. Bian jadi ingat pada Anna saat ia masih mendekatinya dulu. Bian merindukan
Anna, merindukan segala hal soal gadis itu.
Bian perlahan memeluk bantalnya sendiri lalu mendekapnya dengan erat. Ia membayangkan ketika ia sampai rumah ada Anna yang akan menyambutnya dan menawarinya makan seperti biasanya. Bian kembali memejamkan matanya airmatanya mengalir namun cepat ia hapus. Kehidupan terbaiknya adalah saat ia menghabiskan waktunya bersama Anna. Meskipun dulu ia benci masakan Anna yang selalu memasak sayur dan mengatainya seperti kambing. Sekarang ia sangat merindukan itu.
0 comments