BLANTERORBITv102

Bab 27 – Kehidupan Baru

Sabtu, 20 Juli 2024

Anna mulai hidup di rumah Ayahnya bersama Lidia dan memulai lembaran baru dengan menerima Tania sebagai ibu sambungnya dan bersedia dengan berat hati di klaim sebagai anak dari Tania dan Erwin secara sah di negara. Banyak hal yang berubah, hingga ke semua surat-surat seperti akte hingga ijazah. Meskipun Anna dan Lidia sangat merasa berat dan keberatan dengan perubahan yang harus mereka alami, namun mereka terpaksa setuju demi kehidupan yang lebih baik dan wasiat dari Ibunya.

“Anna,” sapa Tania setelah mengetuk pintu kamar Anna dan langsung membukanya.

Anna tersenyum melihat Tania yang masuk kedalam kamarnya sambil menenteng sebuah box hp baru.

“Mama gak tau Anna suka apa enggak, tapi Mama liat Anna udah perlu HP baru. Biar semangat kuliahnya,” ucap Tania dengan wajah sumringahnya berharap Anna mau menerima pemberiannya dan menggunakannya dengan baik.

Anna menatap ponsel baru yang di hariahkan ibu sambungnya itu dengan senang. Ia langsung menerimanya dan membuka box hp barunya. Sebuah ponsel berwarna rose gold kesukaannya. Anna suka sesuatu bernuansa merah muda.

“Makasih Ma, Anna suka,” ucap Anna lalu memeluk Tania yang sudah melebarkan tangannya untuk memeluk Anna.

Lidia terdiam di depan pintu kamar mandi saat melihat Anna dan Tania berpelukan. Tapi tak selang lama Tania langsung melepaskan pelukannya dengan Anna lalu berlari keluar.

“Sebentar, Mama ada hadiah juga buat Lidia,” ucap Tania.

Anna tersenyum lalu menunjukkan ponsel barunya pada Lidia.

“Kakak suka ya sama Tante Tania?” tanya Lidia.

Anna menghela nafas lalu tersenyum. “Ibu kan titipin kita ke mereka,” ucap Anna lembut lalu menggenggam tangan Lidia sembari menariknya dengan lembut untuk duduk di tempat tidurnya. “Tante Tania pasti juga mengalami waktu yang sulit waktu tau Ayah udah punya kita sama Ibu. Kita ga bisa egois, marah terus ke Tante Tania. Dia udah berusaha dengan baik, kita juga harus berusaha nerima dia,” Anna coba menasehati adiknya.

“Tapi hatiku susah nerimanya,” ucap Lidia murung.

Anna tersenyum lalu memeluk Lidia. “Gapapa gak usah dipaksakan, yang penting kamu gak benci sama Tante Tania aja,” ucap Anna lembut yang di angguki Lidia.

Tania terdiam di depan pintu samar mendengarkan ucapan Anna yang mencoba memberi pengertian agar Lidia bisa menerimanya. Tania mengatur nafasnya lalu mengetuk pintu kamar Anna. Tania menunjukkan sebuah Ipad yang ia beli khusus untuk Lidia.

“Ayah bilang Lidia suka gambar, jadi Mama beliin ini biar nanti bisa gabung club gambar juga,” ucap Tania dengan begitu semangat mendukung hobi putri sambungnya.

Thanks,” jawab Lidia singkat dan terkesan dingin, begitu berbeda dengan tanggapan Anna yang lebih ramah.

Tania memeluk Lidia lebih awal tidak seperti saat bersama Anna, tapi Lidia langsung menyikutnya pelan dan melepaskan pelukannya.

“A-aku gak suka di peluk,” ucap Lidia lalu meletakkan tote bag berisi Ipadnya diatas meja belajar lalu mengambil tasnya dan pergi keluar lebih awal.

“Lidia masih perlu penyesuaian, Ma,” ucap Anna lalu mengelus tangan Tania.

Tania tersenyum lalu mengangguk. “Gapapa, nanti lama-lama juga bisa sayang ya…” ucap Tania menguatkan dirinya sendiri dan langsung di angguki Anna.

***

Lidia berangkat sekolah lebih awal. Ia masuk ke SMA yang sama dengan Anna. Kehidupannya sekolahnya jauh lebih baik dan menyenangkan daripada saat Anna sekolah dulu. Maklum sekarang ia datang sebagai anak dari Erwin Seymour bukan penerima beasiswa Griffin Schollarship seperti Anna dulu.

Sementara itu Anna juga mulai berkuliah di kampus yang sama dengan Boni. Kampus negeri ternama dan menjadi favorit, meskipun di kalangan pejabat dan masyarakat kelas atas kampusnya termasuk kampus biasa dan cenderung buangan. Erwin jelas sudah menawarkan untuk mengambil pendidikan di luar negeri seperti Swis, Inggris, atau bahkan ke Amerika tapi Anna memilih mengambil pendidikan S1 nya di dalam negeri. Anna masih trauma dengan kehidupan kelas atas yang ia jalani sebelumnya.

Boni sendiri memilih untuk masuk di kampus negeri karena ingin membuat dirinya semakin terkenal di hadapan masyarakat agar kelak bisa masuk dalam pemerintahan sebagai anggota dewan atau mentri. Selain itu begitu ia tau Anna juga masuk di kampus yang sama dengannya membuatnya semakin senang dan yakin pada pilihannya. Bian dan gengnya juga sudah berpisah, semua memulai kehidupannya masing-masing setelah lulus SMA.

“Anna!” sapa Boni dengan senyum sumringahnya menyambut Anna yang akhirnya selesai kelas.

Anna tersenyum melihat Boni lalu berlari kecil menghampirinya. “Mamamu udah di rumahku,” ucap Boni sembari menunjukkan pesan dari Ibunya.

Anna mengangguk sambil tersenyum sumringah. Anna senang menjalani kehidupan percintaannya yang baru bersama Boni. Anna senang akhirnya ia di pertemukan dengan pria yang sekufu dengannya. Tak ada kekhawatiran atas restu, atas cemoohan publik, bahkan pada saat di tempat umum ia juga tak perlu khawatir pada apapun lagi karena tak ada yang memperlakukannya dengan buruk dan penuh hinaan.

“Ibu bilang buat ajak kamu milih cincin buat tunangan bulan depan, gimana menurutmu?” tanya Boni yang selalu meminta pertimbangan Anna dan melibatkannya dalam segala keputusannya.

Anna terdiam lalu mengangguk sambil tersenyum. Anna tak pernah di ajak memutuskan sesuatu bersama sebelumnya saat masih bersama Bian.

“Besok?” tanya Anna.

Boni mengangguk. “Ya kalo kamu gak ada acara besok,” jawab Boni santai sambil menyetir menuju rumahnya dimana ibunya dan paraa sosialita lain sedang berkumpul untuk arisan.

“Aku ada acara, aku mau ngerjain tugas sama kelompokku,” ucap Anna sambil meringis takut jika Boni marah.

“Seharian?” tanya Boni memastikan.

Anna mengambil ponselnya. “Pagi sih, sebelum makan siang harusnya udah selesai.”

“Kalo sore kita cari cincin gimana?” tanya Boni memberi opsi.

Anna mengangguk.

“Nanti kalo belum nemu, kita cari lagi besoknya santai aja. Btw, kamu mau warna dekornya apa?” tanya Boni yang terlihat antusias dengan acara pertunangannya dengan Anna.

Anna terdiam sejenak. “Aku pengen warna pink, tapi kayaknya nanti kamu malu kalo warna pink.”

“Gapapa, aku suka warna pink juga kalo kamu suka. Kata orang-orang nikah itu kebanyakan bakal jadi acaranya cewek-cewek. Jadi aku pengen kamu menikmati acaranya. Aku ngikutin kamu gapapa, lagian abis nikah kan kamu yang ngikutin aku.”

Anna tertawa mendengar ucapan Boni begitu pula dengan Boni yang ikut tertawa karena tawa Anna. Keduanya tampak sama-sama tidak sabar meresmikan hubungannya meskipun masih harus menunggu lama untuk menikah.

“Makasih ya udah nerima aku apa adanya,” ucap Anna lembut sembari menggenggam tangan Boni.

“Apa adanya gimana? Aku nerima kamu karena ada apanya tau gak. Kamu tu udah cantik, baik, pinter, masakannya enak, penyayang, boong banget kalo nerima kamu apa adanya. Kamu tu udah paket lengkap segalanya,” ucap Boni yang selalu membuat Anna tersipu.

Anna menyukai hubungannya dengan Boni yang terasa jauh lebih sehat dan menyenangkan daripada bersama Bian dulu. Terlebih Boni juga tidak mengajaknya tinggal bersama dan memaksanya untuk terus berhubungan intim, Boni jauh lebih manusiawi dan memperlakukannya dengan baik. Bagi Anna tak ada pria yang bisa menyamai kebaikan Ayahnya selain Boni untuk saat ini. Boni benar-benar figur ideal yang ia dambakan.

“Kalo pagi kamu ada kelompok, aku mau edit vlog kita yang kemarin kalo gitu,” ucap Boni.

“Yang ke kebun binatang?” tanya Anna.

Boni mengangguk. “Aku takut kalo kita keliatan norak,” ucap Boni sambil meringis.

Anna menatap Boni, ini kali pertamanya memamerkan hubungannya kedepan publik bahkan hingga mempostingnya di internet. Tapi daripada khawatir terlihat norak, Anna lebih khawatir kalau ia akan membuat Boni malu. Anna tau posisi Boni di sekolah dulu seperti apa, bahkan saat teman-temannya sesama alumni tau jika ia berpacaran dengan Boni, Boni jadi punya julukan baru sebagai ‘Tempat Sampah Bian’.

“Gapapa, kita kan bikin niatnya cuma sebatas buat seneng-seneng aja,” ucap Anna mencoba menghibur Boni.

Boni tersenyum dan kembali mengangguk. “Yaudah lah, biasanya juga aku sering di kata-katain. Biarin aja,” putus Boni yang akhirnya memilih untuk pasrah karena sudah terbiasa di bully dan jadi bahan cemoohan.

Anna meringis mendengarnya. Ia jadi merasa sungkan dan sedikit bersalah karena dulu hanya bisa diam dan pasrah membiarkan Boni dijadikan pesuruh. Tapi Anna sendiri saat itu juga tak punya kekuatan apapun untuk membela orang lain.

“Maaf ya…”

“Maaf kenapa? Aku banyak kamu bantu. Kalo kamu gak sama Bian aku ga tau kehidupanku pasti lebih berat. Hah…untung udah lulus.”

Anna tersenyum mendengar Boni yang jauh lebih santai dari yang ia bayangkan.

***

Bian berdiri mengawasi dengan seksama dan menunggu bunga pilihannya selesai di rangkai beserta kartu ucapan yang terselip diantara bunga-bunga itu. Hari ini ia ingin menemui Anna kembali. Bian tau dimana kediaman keluarga Seymour setelah ayah Eve resmi menjadi presiden. Bian ingin memperbaiki keadaannya bersama Anna, Bian ingin memulai hidup baru lagi dengan Anna meskipun hari pertunangannya sudah tinggal menghitung hari.

“Anna ada ?” tanya Bian ketika pelayan membuka pintu.

“Wah! Maaf Tuan, Nona Anna sedang tidak di rumah. Tapi kalau mau menunggu bisa, nanti jam lima sore biasanya sudah pulang.”

Bian meringis, ia ingin bertemu Anna tapi jika waktunya terbuang percuma hanya untuk menunggu ia tidak bisa. “Ini, saya titip bunga ini saja. Tolong di sampaikan pada Anna,” ucap Bian lalu sedikit membungkukkan badannya dengan sopan sebelum kembali kedalam mobilnya dan pergi darisana.

Bian sudah jauh belajar soal sopan santun sejak ia sekolah di Swis. Pendikan ketat dan keras dari Ibunya membuatnya sadar menjadi orang yang lebih ramah dan manusiawi seperti yang Anna lakukan jauh lebih enak. Bian jadi bisa lebih di terima banyak orang dan berbaur dengan baik sekarang.

Bian memejamkan matanya lalu membayangkan jika Anna sekarang masih bersamanya. Bian menggenggam ujing bantal yang ada di sampingnya. Bian membayangkan jika ia ada dalam mobil yang sama bersama Anna mungkin sekarang ia akan memeluknya dan memanjakan Anna. Membiarkannya tiduran meringkuk berbantalan pahanya sembari menciumi tangannya atau duduk bersandar di bahunya sambil sesekali menciuminya. Bian benar-benar merindukan Anna.

Bian menghela nafas. Ia merindukan Anna lebih dari apapun yang ada di dunia ini. Sekarang ia sudah pulang, Anna begitu dekat dengannya tapi begitu sulit ia raih. Bian menatap keluar melihat anak SMA yang berjalan bersama menuju halte bus. Bian jadi ingat pada Anna saat ia masih mendekatinya dulu. Bian merindukan Anna, merindukan segala hal soal gadis itu.

Bian perlahan memeluk bantalnya sendiri lalu mendekapnya dengan erat. Ia membayangkan ketika ia sampai rumah ada Anna yang akan menyambutnya dan menawarinya makan seperti biasanya. Bian kembali memejamkan matanya airmatanya mengalir namun cepat ia hapus. Kehidupan terbaiknya adalah saat ia menghabiskan waktunya bersama Anna. Meskipun dulu ia benci masakan Anna yang selalu memasak sayur dan mengatainya seperti kambing. Sekarang ia sangat merindukan itu. 




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.