Bab 04 – Rumah Lisa
Lisa
mengajak Dalton masuk dari salah satu pagar kayu yang rusak dari samping.
Lubangnya hanya kecil dan hanya cukup untuk Lisa. Karena Dalton memaksa ikut
masuk, ia tak sengaja menjebol lubangnya jadi lebih besar.
Dalton
meringis canggung. Dalton tau sebagai gangster ia tak seharusnya merasa takut
atau bersalah hanya karena merusak sedikit. Tapi ini berbeda, ia tak sedang
menjadi gangster, ia sedang berpura-pura menjadi pria normal yang bekerja
menjadi pegawai bank.
“Tidak
apa-apa, aku bisa memperbaikinya nanti,” ucap Lisa sambil cekikikan melihat
Dalton yang tak muat melewati jalan yang biasa ia lewati.
Dalton
berjalan masuk mengikuti Lisa. Lisa hanya mengelola sedikit tanah, berkebun
yang hanya cukup untuk dirinya. Ada beberapa ekor ayam petelur dan seekor ayam
jantan disana yang Lisa rawat. Rumahnya berantakan lebih tepatnya karena Lisa
tak berani merawat semua bagian.
“Aku takut
di usir oleh pihak bank dan di habisi para gangster jika mereka tau aku masih
tinggal disini,” ucap Lisa sambil menatap Dalton.
Dalton
mengangguk paham. “Aku akan merahasiakannya,” ucap Dalton yang membuat senyum
di bibir Lisa kembali merekah.
“Aku
mengelola sedikit tanah, aku membuat kompos dan berkebun, aku juga di beri
beberapa ekor anak ayam oleh tetanggaku. Mereka baik padaku,” ucap Lisa lalu
mengajak Dalton masuk.
Dalton tak
kunjung melangkah. Ia hanya diam menatap noda gosong bekas api yang mengotori
tembok dan beberapa yang sudah membakar jendela dan pintu. Dalton merasa
menyesal dan miris melihat Lisa yang masih berjuang untuk tinggal dan hidup di
sana.
“Tidak usah
khawatir, para gangster yang datang waktu itu tidak mengambil perabotan
rumahku. Setidaknya mereka tidak mengambil kompor dan panciku.
Pakaian-pakaianku juga masih ada,” ucap Lisa karena melihat Dalton yang murung
menatap tempat tinggalnya.
Dalton
tersenyum lalu melangkah masuk. Hanya tinggal lemari berisi pakaian dan kasur
juga sedikit peralatan masak. Dalton tak ingat anak buahnya menjarah peralatan
rumah tangga seperti sofa, dipan, meja, tv atau perabotan lainnya.
“Hanya
ini?” tanya Dalton, tapi Lisa tak ada disana. Dalton panik dan langsung
menyisir keseluruh rumah sampai ia tiba di kamar tempatnya menemukan gadis
kecil dulu. Dalton berjalan hati-hati kedalam namun tiba-tiba Lisa melompat
dari dalam lemari untuk mengejutkannya.
“Ahahaha,
kamu lucu waktu kaget!” ucap Lisa sambil tertawa terbahak-bahak melihat Dalton
yang terkejut karenanya. “Aku bersembunyi disana, aku tidak ingat bagaimana aku
bisa selamat. Aku hanya ingat untuk terus menghitung,” ucap Lisa kembali
bercerita dan menutup lemarinya.
Dalton
benar-benar merasa bersalah pada Lisa. Dalton bingung bagaimana harus
mengatakan yang sejujurnya pada Lisa darimana. Dalton merasa senang bisa
menghabiskan waktu bersama Lisa, meskipun mendatangi tempat tinggalnya terasa
seperti melakukan uji nyali. Dalton tetap merasa senang bisa mengenal Lisa.
“Lalu
kemana kamu pergi setelah itu?” tanya Dalton.
Lisa
mengerutkan keningnya berusaha mengingat masalalunya. “Aku pergi ke dinas
sosial. Aku lupa banyak hal, aku lupa segalanya, aku disana cukup lama sampai
aku sadar dan ingat semuanya. Kata orang-orang aku mengalami trauma berat
setelah kejadian itu. Setelah aku pulang perabotan di rumahku tinggal segini.
Yasudah mau bagaimana lagi,” ucap Lisa santai lalu duduk di tempat tidurnya.
Dalton
mengangguk ragu. Ia berusaha mencerna tiap cerita dari Lisa.
“Dalton,
aku ingin tau sesuatu…” ucap Lisa lalu bangun untuk mengangkat kasurnya dan
mengambil beberapa berkas yang ia simpan. “Ini,” Lisa memberikan beberapa surat
dari bank pada Dalton.
Dalton
duduk di tempat tidur Lisa dan membaca beberapa berkasnya.
“Aku tidak
ingat dengan jelas kapan kejadian itu, tapi yang ku ingat sampai saat ini.
Sebelum kejadian itu orang tuaku hanya telat mencicil hutangnya sekali…” ucap
Lisa pelan dan ragu dengan alis berkerut. “A-apa kamu bisa cek ini? A-aku cuma
mau tau apa kalau telat sekali sudah sefatal itu, itu saja…” sambung Lisa
dengan mata yang berkaca-kaca.
Dalton
menatap Lisa lalu menggenggam tangannya. “Aku akan mencaritau semuanya,” ucap
Dalton lalu mengambil ponsel di sakunya dan mengirim SMS pada supirnya untuk
datang menjemput.
Lisa
tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca. Dalton langsung bangun hendak pergi
memenuhi permintaan Lisa untuk menyelidiki berkasnya. Lisa juga bangun untuk
mengantar Dalton keluar dari rumahnya.
“Dalton…”
panggil Lisa begitu Dalton keluar dari pagar yang sudah ia jebol tadi. Dalton
menahan langkahnya dan menatap Lisa. “Terimakasih, kamu orang terbaik yang ku
kenal selain tetanggaku. Maaf selalu merepotkanmu,” ucap Lisa begitu tulus
sebelum Dalton pergi.
Dalton tak
bisa bereaksi apapun. Perasaannya semakin bercampuraduk antara menyesal, sedih, senang, dan berbunga-bunga. Dalton bingung pada apa yang ia rasakan sekarang.
“Aku janji
akan segera kembali secepatnya,” ucap Dalton lalu mengambil dompetnya dan
menyerahkan semua uang yang ia bawa pada Lisa.
“Oh! Banyak
sekali!” seru Lisa lalu mengikuti Dalton untuk mengembalikan uang yang Dalton
beri padanya. “Jangan, jangan memberikan semua uangmu padaku,” tolak Lisa.
“Kamu
tinggal sendirian, tidak punya uang. Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu
saja,” ucap Dalton yang rasanya ingin mengatakan diam dan terima saja,
gunakan untuk kebutuhanmu, aku kaya dan punya banyak uang tapi tentu Dalton
tak bisa mengatakan itu.
“Aku masih
punya uang, kehidupan di kota pasti mahal. Kamu lebih membutuhkan uangnya
daripada aku,” ucap Lisa lembut.
Dalton
menghela nafasnya, rasanya Lisa benar-benar menolaknya. Entah karena sungkan
sudah meminta tolong atau karena jumlahnya yang terlalu banyak. “Ini, gunakan
saja untuk kebutuhanmu besok, sudah jangan di tolak!” Dalton akhirnya mengalah
dan hanya memberi selembar uang seratus ribu pada Lisa.
Lisa
mengangguk dan tersenyum. “Aku akan berhati-hati menggunakannya,” ucap Lisa
lembut lalu membiarkan Dalton pergi berlalu membawa payungnya sendiri di iringi
rintik hujan yang mulai turun.
Dalton
menoleh ke belakang melihat Lisa yang mendongakkan kepalanya ke atas melihat
rintik-rintik hujan yang membasahinya dengan senyum sumringahnya. Tak lama
setelah itu Lisa masuk kerumahnya yang gelap dan sudah tak memiliki aliran
listrik lagi.
‘Apa dia
akan baik-baik saja…’ batin Dalton yang terus memikirkan Lisa dan khawatir pada
gadis bertubuh kurus itu tapi tak berselang lama supirnya datang menjemput.
Dalton pulang kembali ke rumahnya sambil membaca berkas-berkas yang Lisa
berikan padanya.
Dalton
mengerutkan keningnya lalu menghela nafas. Seharusnya ia tak terlibat lagi
dengan orang-orang yang pernah menjadi korban maupun targetnya. Tapi
pertemuannya dengan Lisa dan segala interaksinya, Dalton merasa Lisa adalah
orang yang paling bisa membuatnya merasa menjadi pribadi yang hangat.