Bab 01 – Pemakaman
Bian
menghembuskan nafas terakhirnya setelah 5 tahun berjuang melawan penyakit yang
menggerogoti paru-parunya. Tubuh besar berototnya yang begitu di banggakan saat
itu menyusut hingga benar-benar kurus dan mengenaskan, posisinya sebagai
kandidat terkuat untuk menggantikan posisi ayahnya beralih pada adiknya Andreas
Dalton. Kekasihnya yang selalu ia perjuangkan dan tempatnya bersandar ketika
semua orang menuntutnya untuk terus kuat yang terus menemaninya selama
pengobatan juga akhirnya tak dapat mengabadikan cintanya dalam janji suci
pernikahan.
Bian pergi
meninggalkan semuanya, Bian pergi setelah berjuang melawan sakitnya dan
meyakinkan adiknya untuk menjadi kuat dan tak terkalahkan. Hari dimana Bian di
makamkan adalah hari terberat bagi Dalton. Bahkan bagi Dalton kehilangan
kakaknya lebih berat daripada saat ia kehilangan ibunya.
Bian yang
selama ini mengurusnya, Bian tidak hanya menjadi kakak tapi juga sahabat, teman
bermain, pelatih, juga pengasuh bagi Dalton. Bian memang kejam ketika
berhadapan dengan musuh atau menjalankan tugas, tapi terlepas dari itu Bian
adalah orang yang lembut dan penyayang. Dalton bahkan ingat, hari pertama Bian
bertugas ia menangis penuh sesal setelah membunuh seorang pria tua dan
istrinya.
Dalton juga
ingat Bian diam-diam masih mengunjungi makam orang-orang yang ia bunuh dan
mendoakannya. Dalton sebenarnya juga tau di hari pertamanya bertugas dan
membunuh Bian tidak benar-benar bangga padanya. Bian menangis sedih di kamarnya
dan mengurung diri semalaman karena melihat Dalton bisa sebengis itu.
Tapi
berbeda dengan Bian, Dalton merasa tugas adalah tugas. Dalton bertindak hitam
dan putih tanpa sedikit keraguan. Dalton merasa jika ia jahat biarlah tetap
jahat dan bila ia memutuskan menjadi baik, ia tak ingin ternodai sedikitpun.
Perinsipnya yang begitu idealis memang di sukai ayahnya dan menganggap Dalton
adalah harapan baru yang akan membawa kelompoknya menuju kejayaan yang lebih
gemilang lagi. Meskipun Bian merasa menyesal sudah membuat Dalton menjadi monster
pembunuh seperti sekarang.
“Tersenyumlah,
menangislah, jadilah manusia semua akan membaik dan kamu akan merasa lebih
nyaman,” ucap Bian selalu mengingatkan Dalton untuk menikmati hidupnya sebagai
manusia normal.
“Apakah
manusia akan merasa lebih baik setelah membunuh manusia lain?” tanya Dalton
dingin yang selalu membantah nasehat-nasehat dari kakaknya.
Kalau saja
Dalton tau ia tak memiliki banyak waktu bersama Bian, mungkin ia akan
menunjukkan sisi hangat yang selalu Bian ingatkan padanya.
“Sudah turunkan
disini saja, aku akan menelfonmu nanti bila urusanku selesai,” ucap Dalton yang
turun di depan pemakaman.
Dalton
turun membawa buket bunga sedap malam. Bukan tanpa alasan Dalton memilihnya,
selain karena wanginya yang semerbak, bunga itu juga bunga yang selalu di sukai
mendiang ibunya juga mendiang Bian setiap kali mengunjungi pemakaman.
Dalton
meletakkan setiap bunga yang ia bawa ke setiap makam orang-orang yang ia habisi
di hari pertamanya bertugas. Dalton tidak memanjatkan doa apapun setelahnya, ia
hanya meletakkan bunga lalu pergi dari sana. Ia merasa hanya perlu memberikan
bunga agar orang-orang mengetahui jika ia menyesal atas insiden tersebut.
“Oh jadi
kamu yang selalu memberi bunga!” pekik Lisa dengan senyum ceria yang melihat
Dalton tengah meletakkan bunga terakhirnya di atas makam.
Dalton
sedikit kaget lalu menatap Lisa dengan alis berkerut bersiap kapan saja
membunuh gadis di depannya itu kalau sampai gadis itu tau siapa dirinya.
“Terimakasih
sudah mengunjungi makam keluargaku,” ucap Lisa lebih lembut dan sopan lalu
duduk untuk berdoa.
Dalton diam
menunggu Lisa selesai berdoa. Bukan karena Dalton ingin menemani Lisa atau
alasan yang lain. Dalton ingin tau apakah Lisa menaruh curiga padanya atau
tidak. Tapi begitu Lisa selesai berdoa ia bukan menaburkan mawar tapi malah
menaburkan bunga-bunga yang ia ambil di sepanjang jalan dengan warna yang
beraneka ragam.
Lisa
tesenyum menatap Dalton. “Kamu tidak perlu menungguku sebentar lagi hujan,”
ucap Lisa lembut lalu bangun dari duduknya. “Siapa namamu?” tanya Lisa lalu
berjalan mendekat ke arah Dalton.
“Andr…ehm…Dalton.
Namaku Dalton,” jawab Dalton yang tak ingin di panggil dengan nama depannya.
“Dalton,
aku akan mengingatnya. Namaku Lisa,” ucap Lisa lalu mengulurkan tangannya untuk
bersalaman dengan Dalton.
Dalton
hendak menjabat tangan Lisa tapi ia cukup ragu untuk melakukannya sampai Lisa
sendiri yang meraih tangannya.
“Apa kamu
dari pihak Bank?” tanya Lisa lalu berjalan beriringan dengan Dalton keluar dari
pemakaman.
Dalton mengerutkan
alisnya bingung dan memilih untuk diam daripada ia salah bicara.
“Maaf
keluargaku tidak bisa membayar hutang waktu itu, pasti kamu juga merasa
bersalah karena kejadian 5 tahun lalu,” ucap Lisa lalu menatap Dalton.
Dalton
langsung bernafas lega karena Lisa tak menyadari siapa dirinya dan memilih
untuk berpura-pura menjadi pegawai bank sesuai yang Lisa kira sebelumnya. “Aku
hanya merasa bersalah saja, pendapatku pribadi,” ucap Dalton lalu mempercepat
langkahnya mengikuti Lisa yang berteduhdi samping rumah warga seiring dengan
turunnya hujan.
“Aku senang
kamu berkunjung ke makam keluargaku, aku senang melihat bunga-bunga cantik yang
kamu berikan, terimakasih banyak ya,” ucap Lisa lembut sambil menatap Dalton
dengan begitu tulus.
Dalton
mengangguk lalu mengambil sebatang rokok di kantungnya dan menyulutnya.
“Apa kamu
membawa kendaraan?” tanya Lisa yang di gelengi Dalton. “Payung?” tanya Lisa
lagi yang kembali mendapat jawaban yang sama. “Biasanya hujan di sore hari akan
berlangsung lama, ini. Kamu bisa pakai payungku,” ucap Lisa memberikan payung
yang ia bawa untuk Dalton.
“Bagaimana
denganmu?” tanya Dalton ragu menerima payung dari Lisa.
“Aku
baik-baik saja, rumahku dekat. Aku bisa berlari kesana, aku juga suka hujan,”
jawab Lisa ceria meyakinkan Dalton jika ia akan baik-baik saja tanpa payung.
Dalton
masih tak kunjung menerima payung dari Lisa, jadi Lisa meletakkannya di samping
kaki Dalton agar Dalton tak ragu menggunakannya.
“Kamu suka
hujan?” tanya Lisa sambil memandangi butiran air hujan yang membasahi bumi.
“Aku suka hujan, aku merasa aman dan terlindungi saat hujan turun,” ucap Lisa
tanpa menunggu jawaban dari Dalton.
Dalton
hanya diam sambil memandangi Lisa yang tampak begitu ceria saat memandangi
hujan yang turun semakin deras.
“Kamu bisa
mengembalikan kapan saja, kamu bisa meletakkan disini atau di dekat makam. Aku
selalu kesini setiap sore,” ucap Lisa lalu mulai melangkah menembus hujan
dengan ceria melompat ke arah genangan air yang menciprat ke bajunya dengan
perasaan tanpa beban.
Dalton
masih memandangnya. Pertemuannya yang begitu singkat, senyuman Lisa, caranya
bicara dan keceriaannya membuat Dalton terpesona. Dalton perlahan tersenyum
melihat tingkah Lisa yang begitu ceria di tengah hujan yang turun cukup lebat.
Dalton terus memperhatikan Lisa yang tampak makin cantik dan mempesona di
tengah hujan yang membasahi rambutnya yang bergelombang dan gaun bermotif
bunga-bunga kecil yang ia gunakan.
Dalton
menoleh ke kaca gelap di samping tempatnya berteduh. Ia melihat senyumnya yang
akhirnya merekah setelah sekian lama. Dalton langsung mengelus pipi dan
bibirnya. Ia merasa heran dan bingung kenapa ia tersenyum dan kenapa ia terus
memandangi Lisa.
test komen
BalasHapusSemangat ka (pipit)
BalasHapusHaloo, hana disini
BalasHapus