Lisa hanya
bisa berdiam diri, bersembunyi di balik lemari di kamar orang tuanya. Gadis
berusia 15 tahun yang di gadang-gadang meneruskan perkebunan dan peternakan
keluarganya itu begitu ketakutan dalam persembunyiannya. Lisa terus menangis dalam
diam, ia juga terus membungkam mulutnya agar ia tak mengeluarkan suara dan tak
dapat di temukan oleh para gangster yang di sewa untuk menagih hutang dari
bank.
Lisa
benar-benar ketakutan, panik dan was-was. Satu persatu suara jeritan, rintihan,
memohon pengampunan baik dari keluarganya maupun dari para pekerja di kebun
maupun peternakannya mulai tak terdengar. Suara anjingnya yang terus
menggonggong juga mulai hilang. Suasana yang semula ricuh tiba-tiba menjadi
sunyi dan mencekam.
Lisa ingin
segera keluar, sampai ia tak sengaja mendengar suara langkah sepatu di lantai
rumahnya. Lisa kembali diam membeku di dalam lemarinya. Badannya mulai gemetar
ketakutan. Lisa juga bertanya-tanya siapa yang datang, apakah para gangster
atau polisi.
“Semua
sudah kosong, tidak ada siapapun lagi,” ucap seorang pria yang menyisir seluruh
rumah Lisa.
Krak! Lisa
begitu panik dan takut saat ia tak sengaja menyentuh plastik pakaian yang ada
di lemari tempatnya bersembunyi.
Pria yang
bertugas menyisir rumah Lisa itu langsung membuka lemari besar tempat Lisa
bersembunyi dalam sekali dobrak. Lisa begitu ketakutan airmatanya yang sudah
menggenang dari tadi langsung mengalir begitu saja. Lisa terpojok dan terkejut
hingga tak dapat berkata apapun.
Dalam hati
Lisa sudah ingin menyerang pria itu. Lisa ingin mendorong, menendang dan
merampas senapan di tangannya. Tapi Lisa terlalu ketakutan bahkan Lisa sampai
tak mampu melihat dengan jelas wajah orang yang baru saja membuka tempat
persembunyiannya.
“Ssstt…
jangan bersuara, hitung 1 sampai 1000 setelah itu keluarlah dari sini,” bisik
pria itu lalu kembali menutup lemari besar tempat Lisa bersembunyi.
“Andreas!
Apa kamu menemukan sesuatu?” teriak seorang pria dari luar.
“Tidak!
Semua kosong!” teriak Andreas Dalton menjawab pertanyaan dari orang di luar
lalu bergegas keluar.
Beberapa
orang sudah menyiram rumah dengan minyak tanah dan bensin, tak hanya rumah tapi
gudang jerami dan lumbung padinya juga. Beberapa hewan ternak sudah di jarah,
beberapa hasil panenan juga sudah di ambil, maka tugas terakhir hanya membakar
pertanian dan kandang ternak beserta rumahnya saja.
Asap mulai
memenuhi rumah, suara kayu yang pecah karena terbakar mulai terdengar. Bahkan
ada sekali ledakan karena api mengenai tong berisi kompos. Lisa masih meringkuk
ketakutan ia tak berani keluar, bahkan meskipun ia sudah 2 kali menghitung 1
sampai 1000.
Awan
mendung terlihat makin pekat. Para gangster dan anak-anak buahnya memilih pergi
dari sana, mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Selain itu mereka
juga tak ingin berurusan dengan polisi karena insiden remeh ini. Jadi mereka
semua meninggalkan lokasi dan yakin saja jika tempat itu akan segera di lahap
api. Kalaupun tidak, mereka juga tak masalah karena tugasnya sudah selesai.
“Kamu liat
apa?” tanya Bian, kakak Dalton yang melihat adiknya terus memandangi rumah yang
baru ia bakar.
Dalton
menggeleng lalu menatap Bian. “Sebentar lagi hujan,” ucap Dalton.
“Biarkan
saja, lagipula kita hanya di perintah untuk mengosongkan tempat itu dan
membakarnya,” ucap Bian santai. “Aku bangga, di hari pertamamu bergabung kamu
sudah bisa seberani itu. Bahkan kamu gak gemetar sedikitpun waktu bunuh
orang-orang tadi. Maaf aku salah menilaimu,” Bian merangkul Dalton dengan
senyum sumringahnya.
Dalton
hanya diam menatap Bian dengan pandangannya yang dingin tak banyak ekspresi
seperti biasanya. Tak lama Bian terbatuk-batuk hingga tak sengaja darah ikut
keluar dari mulutnya saat terbatuk tadi. Dalton masih menatapnya dengan dingin
meskipun ia juga khawatir pada kondisi kakaknya itu.
“Kamu perlu
ke dokter atau beri tau Ayah, Kak. Kondisimu bisa lebih buruk lagi kalau begini
terus,” ucap Dalton mengingatkan Bian.
Bian
menggeleng lalu berusaha menghentikan batuknya. “Tidak usah, aku tidak mau
membuat tua bangka itu khawatir. Setidaknya saat ini aku bisa menemanimu sampai
kamu kuat sepertiku, setelah itu aku akan mengatakan semuanya,” ucap Bian
berusaha terlihat baik-baik saja.
Dalton
hanya menghela nafas, jengkel dengan jawaban kakaknya yang selalu sok kuat itu.
Dalton mengalihkan pandangannya keluar, memandang jalanan dan hujan yang mulai
turun dengan deras.
“Ini,” Bian
menyodorkan jam tangan besi yang biasa ia gunakan. “Kamu pengen jamku kan dari
dulu, sekarang ini ku kasih buat kamu. Selamat ulang tahun,” ucap Bian sambil
tersenyum.
Dalton
mengerutkan keningnya lalu menerima pemberian Bian dengan ragu.
“Itu jamnya
di beliin Ibu, jangan di ilangin!” ucap Bian berusaha tetap terlihat normal dan
biasa saja memberikan satu-satunya hadiah terbaik yang ia terima dari mendiang
ibunya.
Dalton mengangguk
lalu tersenyum dan memakai jam tangan dari kakaknya itu.
“Kamu gak
harus pasang wajah garang tiap hari, kadang senyum, kadang nangis, kadang
bercanda, kadang ketawa itu gak masalah. Kita masih manusia,” ucap Bian lalu
bersandar dan menatap keluar.
Dalton
menatap kakaknya dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi Dalton berusaha
tenang dan tetap berharap semua akan segera membaik. Bian akan memimpin
kelompok gangster yang sudah di jaga sekian lama oleh ayahnya, lalu Dalton bisa
pergi melanjutkan mimpi sederhananya untuk bekerja sebagai pegawai dan memiliki
keluarga yang harmonis di luar kelompok gangsternya.
0 comments